Asal Usul Desa Woro
Noyosentiko, sebagai pejuang Pangeran Diponegoro tetap gigih melanjutkan perjuangannya setelah Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda. Meskipun Pangeran Diponegoro telah jatuh ke tangan penjajah, Noyosentiko tidak gentar. Dia bahkan berani menentang Bupati Sidolaut dan membunuh Wedana Sulang yang dianggapnya mendukung Belanda. Noyosentiko memiliki tekad kuat untuk melawan penjajah Belanda, dan untuk mewujudkan cita-citanya, ia meminta saran dari gurunya.
Guru Noyosentiko menetapkan syarat untuk melakukan meditasi di depan sebuah genuk yang diletakkan terbalik, dan Noyosentiko berhasil melewati ujian tersebut ketika genuk tersebut berubah posisi menjadi terlentang. Kesungguhan Noyosentiko untuk mengusir penjajah Belanda membuatnya tidak mempedulikan penampilan fisiknya yang kurus dan rambutnya yang kusut, sehingga ia dikenal dengan julukan Noyogimbal.
Noyogimbal kemudian mencari anak buah untuk membentuk pasukan prajurit. Banyak yang bergabung dengan pasukannya setelah ia memastikan kesediaan mereka untuk melawan penjajah. Tempat di mana Noyogimbal mengumumkan hasratnya, yang dikenal sebagai Gunung Prajurit, menjadi pusat rekrutmen prajuritnya. Di Desa Woro, tempat di mana Noyogimbal mengeluarkan pengumuman (woro-woro), dulunya merupakan dataran di lereng gunung. Pada tahun 1820, bencana banjir mendorong masyarakat mencari tempat yang aman, dan akhirnya Desa Woro berkembang menjadi delapan Dukuh/RW.
Desa Woro, yang terletak di kecamatan Kragan, Rembang, Jawa Tengah, Indonesia, berbatasan dengan Desa Sumurtawang di Utara, Desa Bendo Sluke di Barat, Desa Terjan di Selatan, dan Desa Sumbergayam di Timur. Desa Woro dikenal sebagai desa yang makmur dan patut dibanggakan, dengan berbagai macam buah segar seperti durian, semangka, melon, rambutan, duku, dan cengkeh yang dapat ditemukan di sana. Selain itu, Desa Woro memiliki potensi wisata alam yang menarik.